Sejarah Perbankan di Indonesia
Memasuki tahun 1990-an BI mengeluarkan
paket kebijakan yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati – hati dalam
pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14 /
1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu
bank umum dan BPR. Berdasarkan Undang - undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur
kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian,
peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati
– hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan
profesionalisme para pelakunya. Dengan undang – undang tersebut juga ditetapkan
penataan badan hukum bank - bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank
berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana
terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Krisis Finansial terjadi pada Juli 1997
di Thailand yang mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di
beberapa negara Asia. Peristiwa ini disebut krisis moneter (krismon) di
Indonesia. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara yang paling
parah terkena dampak krisis ini. Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari
krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah,
perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang
besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.Tapi banyak
perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah menguat
terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut level
efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga
mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megembangkan baht,
Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12
persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997,
pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating - bebas. Rupiah
jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah
jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan
rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh
titik terendah pada bulan September. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia
menjadi “junk bond”. Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus,
krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas
muncul pada neraca perusahaan.
Perusahaan yang meminjam dalam dolar
harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah,
dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah,
menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi. Inflasi rupiah dan peningkatan besar
harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998,
Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto
dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J Habibie menjadi presiden. Mulai
dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
2.2 Kondisi Perbankan di Indonesia
Kondisi
dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan ini selain disebabkan
perkembangan internal dunia perbankan juga tidak terlebas dari pengaruh
perkembangan di luar dunia perbankan. Perkembangan faktor-faktor internal dan
eksternal perbankan tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia secara
umum dapat dikelompokan dalam empat periode. Keempat periode itu adalah:
I.
Kondisi
sebelum Deregulasi
Perbankan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa, yang dalam hal ini
adalah pemerintah. Berikut ini merupakan fungsi utama perbankan pada masa
penjajahan adalah :
1)
Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan-perusahaan besar milik kolonial.
2)
Memberikan
jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar milik kolonial, seperti
giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain-lain.
3)
Membatu
pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke negara penjajah.
4)
Sebagai
tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak, baik pajak dari
perusahaan-perusahan maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke
negara penjajah.
5)
Mengadminitrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kolonial.
Berikut ini merupakan fungsi
utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya
deregulasi adalah:
-
Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
-
Memberikan
jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
-
Mengadminitrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah.
-
Meyalurkan
dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor-sektor yang ingin
dikembangkan pemerintah.
Dan yang selanjutnya adalah keadaan perbankan saat ini, yaitu:
-
Tidak adanya
peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia Hingga akhir tahun 1960-an peraturan menegenai perbankan hanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968.
Undanng-undang tersebut tidak mengatur sejara jelas mengenai perbankan namun,
lebih cenderung memperlihatkan campur tangan pemerintah dalam perbankan di Indonesia.
-
Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu. KLBI diberikan terutama untuk bank-bank pemerintah ini disalurkan untuk
mendanai pemberian kredit kepada debitur
dan dalam hal ini bunga yang harus dibayar oleh bank penerima KLBI relatif
rendah.
-
Bank banyak
menanggung program-prorogram pemerintah.
Terutama bank-bank pemerintah memperoleh berbagai macam fasilitas khusus, bank
tersebut juga harus menjalankan kegiatan perbankan yang berkaitan dengan
program atau proyek pemerintah.
-
Jumlah bank
swasta yang relatif sedikit.
Dari waktu
ke waktu masa itu perkembangan jumlah bank swasta tidak mengalami kenaikan.
Bank-bank swasta yang ada umumnya bank-bank kecil. Bank-bank milik pemerintah
yang berupa BUMN mendominasi kegiatan perbankan di Indonesia.
-
Sulitnya
pendirian bank baru.
Dominasi
bank pemerintah yang sangat kuat dengan segala fasilitas dan kemudahannya
menyebabkan sulit sekali bagi bank swasta baru untuk masuk dalam persaingan
apalagi untuk berkembang menjadi bank yang besar.
-
Posisi
tawar-menawar bank relatif lebih kuat daripada nasabah
Bank
seolah-olah tidak merasa membutuhkan nasabah, nasabahlah yang membutuhkan bank.
Bank tidak terlalu mememrlukan dana dari masyarakat Karena telah memperoleh
dana dengan mudah dari pemerintah dan BUMN.
-
Bank bukan
merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam
dana.
Prosedur
berhubungan dengan bank yang rumit dan lemahnya posisi tawar-menawar nasabah
menyebabkan masyarakat kuarang tertarik untuk berhubungan dengan baik.
Masyarakat kecil lebih banyak berhubungan dengan pegadaian dan rentenir.
II.
Kondisi
sesudah Deregulasi
Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi
ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi
perbankan yang tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik. Untuk mengatasi
situsi tersebut tidak menguntungkan ini cara yang ditempuh pemerintah pada
waktu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sector
rill dan sektor moneter. Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan dan terkait
dengan perbankan antara lain adalah:
1)
Paket 1 Juni
1983 yang berisi tentang:
a.
Penghapusan
pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrument pengendali Jumlah
Uang Beredar (JUB).
b.
Pengurangan
KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertetu.
2)
Bank
Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.
3)
Bank
Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas
diskonto oleh BI.
4)
Paket 27
Oktober 1988 yang berisi tentang:
a.
Pengerahan
dana masyarakat.
b.
Efisiensi
lembaga keungan.
c.
Pengendalian
kebijakan moneter.
d.
Pengembangan
pasar modal.
5)
Paket 20
Desember 1988 yang berisi tentang:
a.
Aturan
penyelenggaraan baru efek oleh swasta.
b.
Alternatif
sumber pembiayaan berupa sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura,
perdagangan surat berharga, kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
c.
Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat melakukan kegiatan perdagangan surat
berharga, kartu kredit anjak piutang dan pembiayaan konsumen.
6)
Paket 25
Maret 1989 yang berisi tentang:
a.
Penyempurnaan
paket sebelumnya.
b.
Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat memiliki net
open position maksimum sebesar 25% dari modal sendiri.
7)
Paket 29
Januari 1990 yang berisi tentang penyempurnaan program perkreditan kepada usaha
kecil agar dilakukan secara luas oleh semua bank.
8)
Paket 28 Februari
1991 yang berisi tentang penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan
lembaga keungan dengan prinsip kehati-hatian, sehinggadapat tetep
mempertahankan keoercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
9)
UU Nomer 7
Tahun 1992 tentang perbankan.
10) Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank
meliput :
a.
Rasio
kecukupan modal
b.
Batas
maksimum pemberian kredit (BMPK)
c.
Kredit Usaha
Kecil (KUK)
III.
Kondisi saat
krisis ekonomi mulai akhir tahun 1990-an.
1)
Tingkat
kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia
menurun drastis.
2)
Sebagian
besar bank dalam keadaan tidak sehat.
Peraturan
kesehatan bank sulit sekali untuk diterapkan dalam kondisi krisis ekonomi ini,
sebab apabila aturan diterapkan apa adanya maka sebagian besar bank sudah tidak
lagi layak untuk meneruskan kegiatan usahanya.pelanggaran yang paling menonjol adalah tidak
terpenuhinya rasio kecukupan modal dan batas maksimum pemberian kredit.
3)
Adanya spread negatif.
Kepercayaan
masyarakat sangat rendah terhadap perbankan serta kebijakan uang ketat oleh
otoritas moneter melalui pernaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
menyebabkan perbankan tidak mempunyai alternative lain umtuk menghimpun dan
menyalurkan dana. Konsekuensi dari kebijakan spread negative ini adalah bank harus menanggung rugi dalam
kegiatan usaha penghimpunan dan penyaluran dananya
4)
Munculnya
penggunaan peraturan perundangan yang baru.
Peraturan
dan perundangan baru yang ditetapkan setelah adanya krisis ekonomi.
IV.
Kondisi
terakhir.
Empat hal penting menandai kondisi terakhir sektor perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah :
1)
Selesainya
penyusutan Arsitektur Pernbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh
adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai
tahun 1997.
2)
Serangkaian
rencana dan komitmen pemerintah, DPR dan Bank Indonesia untuk membentuk atau
menyusun :
a.
Lembaga
penjamin simpanan
b.
Lembaga
pengawas perbankan yang idependen
c.
Otoritas
jasa keuangan
3)
Kinerja
perbankan yang lebih menunjukan kondisi masa peralihan atau awal masa pemulihan
dari krisis ekonomi kea rah kondisi perbankan yang lebih sesuai dengan
praktik-praktik perbankan yang lebih baik.
4)
Penyaluran
dana masyarakat kearah yang lebih mencerminkan bank sebagai perantara keuangan
dengan tetap berlandaskan prinsip kehati-hatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar